Penelusuran historis mengenai asal-usul nama Boyolali menunjukkan bahwa istilah ini tidak ditemukan dalam beberapa catatan sejarah kuno, seperti Serat Babad Pengging maupun Serat Mataram. Demikian pula pada masa-masa kerajaan besar seperti Kerajaan Demak Bintoro dan Kerajaan Pengging, nama “Boyolali” sebagai penanda suatu wilayah administratif atau geografis belum dikenal (Pemerintah Kabupaten Boyolali, 2020). Fakta ini mengindikasikan bahwa penamaan wilayah ini kemungkinan besar baru muncul pada periode yang lebih modern, setelah era kerajaan-kerajaan tersebut.
Meskipun tidak tercatat dalam babad resmi, asal-usul nama Boyolali hidup kuat dalam legenda masyarakat yang berkaitan erat dengan perjalanan spiritual Ki Ageng Pandan Arang, Bupati Semarang pada abad XVI yang juga dikenal dengan nama Tumenggung Notoprojo (RRI, 2024). Alkisah, Sunan Kalijogo meramalkan bahwa Ki Ageng Pandan Arang akan menjadi “Wali Penutup” menggantikan Syeh Siti Jenar. Untuk memenuhi takdir tersebut, Sunan Kalijogo mengutus Ki Ageng Pandan Arang untuk meninggalkan kemewahan duniawi dan jabatannya di Semarang, serta memulai pengembaraan suci menuju Gunung Jabalakat di Tembayat, Klaten, guna melaksanakan syiar agama Islam (BAPPERIDA Kabupaten Boyolali, n.d.).
Dalam perjalanannya dari Semarang menuju Tembayat, Ki Ageng Pandan Arang dihadapkan pada berbagai rintangan yang menguji keteguhannya. Diceritakan bahwa ketika beliau melintasi sebuah hutan belantara, dalam kondisi telah terpisah cukup jauh dari anak dan istrinya, beliau dihadang oleh tiga orang perampok (RRI, 2024). Mereka menyangka Ki Ageng membawa harta benda, namun dugaan tersebut keliru, sebab Ki Ageng telah meninggalkan seluruh kekayaan duniawinya. Peristiwa “tiga orang yang bersalah” (salah tiga) dalam merampok tersebut diyakini menjadi asal-usul nama Kota Salatiga (Pemerintah Kabupaten Boyolali, 2020). Perjalanan Ki Ageng berlanjut hingga tiba di suatu kawasan yang banyak ditumbuhi bambu kuning atau bambu ampel, yang kelak menjadi asal mula nama wilayah Ampel, kini salah satu kecamatan di Boyolali.
Semakin jauh menempuh perjalanan, jarak antara Ki Ageng dengan anak dan istrinya (Nyi Ageng) pun semakin membentang. Sembari menanti kedatangan keluarganya, Ki Ageng Pandan Arang beristirahat di sebuah batu besar yang berada di tengah sungai (BAPPERIDA Kabupaten Boyolali, n.d.). Dalam penantiannya yang cukup lama, beliau lantas berucap, “Båyå wis lali wong iki,” yang dalam bahasa Indonesia berarti, “Sudah lupakah orang ini?”. Ungkapan yang merujuk pada istrinya yang tak kunjung tiba, yakni “Båyå Wis Lali,” tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai cikal bakal lahirnya nama “Boyolali” (RRI, 2024).